BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Syariat
Islam sebagai instrumen hukum mempunyai dua peranan dalam kehidupan ummat
manusia.Pertama adalah sebagai hukum
negara melalui praktek peradilan. Kedua adalah sebagai ketentuan hukum yang
mengikat secara taklifi yang
tercermin dalam lima formulasi hukum Islam
(wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah), baik yang bebentuk dustur atau
hukum tertulis yang tertuang dalam buku fiqih maupun yang berbentuk ifta’ atau fatwa untuk
pedoman masyarakat umum. Segi pertama syariat Islam sudah mendapat tempat
secara terbatas dalam kewenangan Peradilan Agama/Mahkamah Syariyah di Indonesia
sampai ke tingkat banding di Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syariyah
Propinsi, dan tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Sementara itu segi kedua masih
sebatas hukum materilil terutama yang menyangkut
kewenangan fatwa belum mendapat tempat yang semestinya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara kita.
B. Rumusan
Masalah
· Apa yang
dimaksud dengan Fatwa, Mufti, Mustafti dan Ifta’?
· Bagaimana
syarat-syarat Mufti, Mustafti dan Ifta?
· Apa saja
macam Fatwa, Mufti dan Mustafti?
C. Tujuan
Pembahasan
· Mengetahui
dan memahami pengertian Fatwa, Mufti, Mustafti dan Ifta
· Mengetahui syarat-syarat
Mufti, Mustafti dan Ifta
· Mengetahui macam
Fatwa, Mufti dan Mustafti
BAB II
PEMBAHASAN
A.1. Fatwa
Fatwa
darisegi Bahasa, sebagaimana yang disebut dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah Fatwa
ialah Isim Masdar bermaksud “ifta” atau mengeluarkan
fatwa, dengan jamaknya “al fatwa” atau “al fatawi”.
Adapun “al istifta” pula pada bahasanya ialah meminta jawaban terhadap
sesuatu perkara yang dimusykilkan, atau memberi pertanyaan. Adapun fatwa dalam istilah
hukum Syara’ yaitu memberi penerangan tentang hukum Syara’ berdasarkan kepada dalil
bagi orang yang bertanya tentangnya. Juga secara terminologis berarti
:penjelasan hukum syar’iy dalam menjawab suatu persoalan yang diajukan seseorang,
baik penjelasannya jelas (terang) atau tidak jelas (ragu-ragu), baik penjelasan
itu mengarah pada kepentingan pribadi atau kepentingan masyarakat.
A.2.
Dasar Umum Dan Sifat Fatwa
1.
Penetapan fatwa didasarkanpada Al-Qur’an, sunnah (hadits), ijma’
dan qiyas serta dalil lain yang mu’tabar.
2.
Aktivitas penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh suatu
Lembaga yang dinamakan Komisi fatwa.
3.
Penetapan fatwa bersifat responsive, proaktif, danantisipatif
A.3.
Metode Penetapan Fatwa
1.
Sebelum fatwa ditetapkan hendaklah ditinjau lebih dahulu pendapat
para imam madzhab dan Ulama yang mu’tabar tentang masalah yang akan difatwakan tersebut,
secara seksama berikut dalil-dalilnya.
2.
Masalah yang telah jelas hukumnya hendaklah disampaikan sebagaimana
adanya.
3.
Dalam masalah yang terjadi khilafah di kalangan madzhab, maka.
a.
Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di
antara pendapat-pendapat Ulama madhzab melalui metode al-jam’uwa al-taufiq
b.
Jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan
fatwa
didasarkanpadahasiltarjihmelaluimetodemuqaranahdenganmenggunakankaidah-kaidah Usul
Fiqh Muqaran
4.
Dalammasalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya di kalangan madzhab,
penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad jama’i (kolektif)
melalui metode bayani, ta’lil (qiyasi, istihsan, ilhaqi), istishlahi,
dan sadd al-zariah
Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum dan
maqashid al-syari’ah
A.3. Macam-Macam Fatwa
1.
Fatwa yang dikeluarkanberdasarkanperintahundang-undang (UU)
2.
Fatwa yang dikeluarkanatasapermintaandarikementrianatau Lembaga.
3.
Fatwa berdasarkanpermintaandarimasayarakatumum,
A.
1. Mufti
Mufti dalam gramatika bahasa arab merupakan bentuk shighot isim
fa’il dari fi’il tsulatsi mazid afta-yufti-ifta’ yang
secara etimologi adalah orang yang berftwa. Sedangkan secara terminologi adalah
[1] المخبر عن حكم شرعي (orang yang menyampaikan perihal
hukum syara'([2].
B.3.
Kriteria Mufti
Untuk
menetapkan hukum islam, seorang mufti harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan ulama. Secara
khusus syarat-syarat yang harus dimiliki
seorang mufti antara lain :
a.
Seorang Muslim
b.
Mukallaf
c.
Terhindar dari sifat-safat fasiq serta bisa menjaga muruah
(martabat diri) [3]
d.
Memahami al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang terkait (ulum al-Qur’an).
e.
Mengetahui asbab nuzul al-Qur’an dan asbab wurud
al-hadits.
f.
Mengetahui ayat al-Qur’an yang nasikhah (ayat yang
menghapus) dan ayat al-Qur’an yang mansukhah (ayat yang dihapus).
g.
Mengetahui secara persis ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat.
h.
Mengetahui secara detail penta’wilan al-Qur’an dan
penafsirannya secara valid dan akurat.
i.
Mengetahui secara detail tentang hadits-hadits
Rasulullah Saw.
j.
Mengetahui ayat-ayat makiyah dan madaniyah
k.
Mengetahui ilmu-ilmu agama islam secara menyeluruh, seperti ilmu fiqih,
Ushul Fiqih, Ilmu Kalam, Ilmu Nahwu, Balaghah dan ilmu lain yang menunjang
dalam menetapkan fatwa.
l.
Mengetahui tentang kepentingan masyarakat banyak (maslahat
al-‘ammah)
m.
Harus terhindar dari sikap tercela.
Kriteria diatas
berdasarkan kitab Adab Al Mufti Wal Mustafti Ibni Sholah dan kitab Adab
Al-Fatwa Wal Mufti Wal Mustafti Li Annawawi (Syafi’iyah), Sedangkan menurut
Mazhab Hanbali ada beberapa perbedaan didalam syarat seseorang menjadi mufti
diantaranya adalah ;
1.
Bisa mentashawwurkan
(menggambarkan) permasalahan secara detail
2.
Tidak boleh berfatwa
yang berpotensi lebih banyak madlaratnya
Begitu urgennya posisi mufti, hampir seluruh kitab Ushul
Fikih membicarakan dan menetapkan sejumlah prinsip, adab (kode etik), dan
persyaratan ketat yang harus dimiliki setiap mufti (orang yang akan memberikan
fatwa).
Menurut imam al-Nawawi al-Dimasyqi,diantara prinsip
dan persyaratan memberikan fatwa, mufti
harus mengetahui ilmu-ilmu al-Qur’an dan hadits, mengetahui hukum islam secara
mendalam berikut dalil-dalilnya, baik dari al-Qur’an maupun hadits, memahami
cara menggali (istinbath) hukum dan solusinya. Bahkan tidak berlebihan
jika Ibnu al-Shalah mengatakan, “Kualifikasi mufti seperti halnya
kualifikasi al-rawi (dalam kajian hadits). Dengan demikian, mufti harus
cerdas (al-dlabith), jujur, dan tidak mempunyai cacat moral (al-‘adlu),
sebagaimana hal ini menjadi syarat bagi periwayat hadits.
B.2. Macam-Macam Mufti
Menurut Abu Umar, mufti terbagi menjadi dua :
1.
Mufti Mustaqil ialah seseorang yang memiliki kemampuan
menggali (Istinbath) hukum sendiri dari sumbernya, yakni Qur’an dan
Hadits untuk difatwakan, dengan syarat yang telah dituturkan diatas.
2.
Mufti Ghoiru Mustaqil ialah seseorang yang memiliki
kemampuan menggali (Istinbath) hukum untuk difatwakan akan tetapi
ketentuan dan tata caranya disandarkan pada imam mazhabnya, Mufti Ghoiru
Mustaqil ini disebut pula dengan Mufti Muntasib dengan syarat :
a.
Tidak mengikuti (taqlid) terhadap apa yang menjadi pendapat
imam mazhabnya[4]
(Mufti Mustaqil) dalam analisa dalilnya, akan tetapi tata cara dan
ketentuan berijtihadnya disandarkan pada Imam Mazhabnya.
b.
Memahami Fiqih dan Ushul Fiqih Mazhabnya beserta dalilnya secara
terperinci
3.1 Mustafti
A.
Pemgertian
Mustafti menurut bahasa berasal dari kata istafta -yastaftii-
istiftaan –fahua mustaftin dari wazan istaf’ala- yastaf’ilu-
istif’aalan-fahua mustaf’ilun, yang artinya orang yang
meminta fatwa.
Menurut
istilah mustafti adalah orang-orang yang tidak mempunyai suatu
pengetahuan tentang hukum syara’baik secara sebagian maupun keseluruhan.
Orang-orang yang tidak mempunyai
pengetahuan tentang syara’ , dari ketidak tahuannya di sebut ‘awam. Dari
segi dia bertanya di sebut mustafti maka jadilah muqollid. Adapun
dalam tingkatan seseorang dalam mepunyai pengetahuan, ada 3 penyebutan yaitu:
1.
Muqolid, adalah orang
yang tidak mempunyai pengetahuan, oleh karenanya tidak bisa menghasilkan
pendapat sendiri dan mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui
dadil-dalilnya
2.
Muttabi, adalah orang
yang mampu menghasilkan pendapat tapi dengan metode yang sudah di rintis oleh
ulma ulama sebelumnya.
3.
Mujtahid, adalah orang
yang mampu menghasilkan pendapat dengan ijtihadnya sendiri.
Menurut imam As
Subki orang awam terbagi pada beberapa kelompok
a.
Orang awam yang tidak mempunyai keahian samasekali
b.
Orang ‘alim namun belum sampai pada tingkat mujtahid
c.
Orang yang mampu melakukan ijtihad tapi baru sampai pada tingkatan
dzon( dugaan kuat)
C.2. Hukum Taqlid
Para
ulama bagdad melarang taqlidnya orang awam kepada orang alim di dalam masalah furu’ussyariah.
Mereka berkata “ tidak boleh bagi orang ‘awam mengambil pendapat para ulama
sebnelum kecuali sudah di jelaskan hujjahnya.
Menurut Qadhi Al Qudhot pada syarah Abi Ali
beliau membolehkan taqlidnya orang ‘awam kepada orang ‘alim dalam masalah furu’ul
ijtihad, tidak pada masalah ijtihad . Sedangkan pendapat mushonif,
bahwa yang benar adalah boleh taqlid pada keduanya. Dalil yang melandasi
pendapat itu adalah kesepakatan umat sebelum adanya ikhtilaf. Sesungguhnya para
sahabat dan para ulama sesudahnya, berfatwa kepda orang-orang awam, ulama memberikan
fatwa kepada mereka atas masalah-masalah yang belum terjadi.
Dikutip dari
buku Ushul Fiqh Prof. H. Amir Syarifudin, beliau menyuguhkan dua
ayat yang saling bertentanganyang petama surat Luqman ayat 21 dan yang kedua
surat An Nahl ayat 43. Ayat pertama
menunjukan larangan orang-orang islam ikut-ikutan dalam menjalankan agama dan
ayat yang ke dua menunjukan anjuran untuk bertanya pada orang yang lebih tahu.
Dari dua ayat
ini beliau memaparkan beberapa kesimpulan dan pendapat ulama tentang kesimpulan
tersebut, yaitu :
Petama, apakah
taqlid itu menghasilkan ilmu yang biasa menghatarkan keyakinan. Pendapat imam
Ghozali, taqlid itu bukanlah cara untuk mendapatkan ilmu yang meyakinkan baik
masalah furuiyah maupun ushuliyah. Sedangkan pendapat Golongan Hasyawiyah
dan Ta’limiyah taqlid bahwa untuk mendapatkan kebenaran hanyalah taqlid dan
haram hukumnya berijtihad dengan nalarnya sendiri.
Kedua, apakah boleh taqlid pada
hal-hal yang bersifat ushuluddin. Masalah ini ada 3 pendapat yang
dipaparkan beliau.
1.Kebanyakan
ulama berpendapat tidak boleh bertaqlid pada masalah ushuluddin. Hal ini
dikuatkan oleh imam Al-Rozi, ketidak bolehan bertaqlid ini
berlaku pagi para mujtahid dan tidak berlaku bagi orang awam. Dengan dalil
surat Muhammad ayat 47 menunjukan wajib mengetahui Allah sampai pada ‘ilmul
yaqiin. Hal tersebut berlaku juga untuk kita karena kita di suruh untuk
mengikuti jejak nabi.
2. Pendapat Al
Anburi dan yang mengikutinya, bahwa boleh bertaqlid pada masalah
ushuluddin dan tidak boleh bertaqlid. Al Anburi memberi alasan bahwa dalam
masalah ushuluddin atau ‘aqidah itu cukup dengan ‘aqad atau ‘aqduljaziim
(ikatan yang pasti).
3. Haram
berijtihad dalam bidang ushuluddin. Dinukil dari Al Asy’ari bahwa imannya
seseorang yang tidak bertaqlid tidak sah. Pendapat ini mendapat tanggapan pro
dan kontra, oleh karenanya imam As Subki perlu mentahqiq pandangan Al Asy’ari,
beliau mengatakan taqlidnya muqolid yang masi ada keraguan atau praduga itu
tidak cukum imman nya. Tapi apabila seseorang bertaqlid da nada kepastian di
dalam hatinya maka immannya cukup.
Ketiga taqlid
dalam bidang furu’ fil fiqhiyah. Masalah taqlid dalam masalah furu’ filfiqhi
semakin luas. Jumhurul ulama sepakat atas kebolehan orang awam dalam bertaqlid,
akan tetapi menurut imam As Subki kebolehan bertaqlid bergantung pada tingkatan
awamnya beliau berpendapat orang yang yang mampu berijtihad walaupun masih
derajat dzon (dugaan) disamakan dengan orang yang mapu berijtihad penuh.
Berbeda dengan imam Ar Rozi, dalam peringkat ini beliau memisahkan lagi dalam
bertaqlid
a.
Ia bertaqlid pada mujtahid lain dalam msalah yang sama yang
ijtidanya sendiri berbeda dengan yang ditaqlidinya
b.
Dalam masalah yang ia taqlidi itu, ia belum pernah berijtihad .
Dalam hal
pertama imam arrozi mengemukakan ijmaul ulama yang menetapkan letidak bolehan
seorang mujtahid bertaqlid pada mujtahid yang lain. Alasannya, dengan bertaqlid
kepada orang lain maka harus melakuakan apa yang di taqlidinya sehingga
mengngkari apa yang sudah di yakininya. Hal ini suatu tindakan yang salah.
Keempat tentang bertaqlidnya orang
yang sudah berada di derajat mujtahid
dalam masalah yang belum diijtihadinya. Dalam hal ini ada beberapa
pendapat yang di kemukakan beliau
1.
Kebanyak ulama mengharamkan mujtahid bertaqlid pada mujtahid yang
lain secara mutlaq. Alasan di haramkannya bertaqlid karena Allah menyuruh para
mujtahid untuk berijtihad, sebagaimana yang jelaskan dalam A-Quran surat Al
Hasyr ayat 2. Yang di maksud I’tibar dalam ayat itu adalah berijtihad dan yang
di maksud ulil abshor adalah para mujtahid.
2.
Kalangan ulama yangmeliputi imam ibnu hambal, ishaq ibnu ruhkowaih
dan sofyan Ast stauri berpendapat boleh seorang mujtahid melakukan taqlid
secara mutlaq. Pendapat ini berlandasan pada surat An Nahel ayat 43 yang sudah
di sebutkan di atas. Telah berlangsung ijmaul ulama tentang bolehnya seorang
mujahid menerima khobar ahad dari seorang dari mujtahid lain bahkan dari orang
awam.
3.
Sebagian ulama tidak berpendapat secara memutlak-mutlakan
sebagaimana yang yang telah di paparkan oleh dua pendapat di atas.
a.
Imam Syafi’I berpandapat mujahid boleh bertaqlid pada mujahid yang
lain, yang setatusnya masih sahabat dan tidak boleh sesudahnya. Karena para
sahabat masih mendapatkan bimbingan nabi.
b.
Muhammad Ibnu Hasan As Syaibani membolehkan mujtahid bertaqlid pada
suatu masalah kepada mujtahid yang lain yan lebih tahu dalam masalah tersebut.
Kelima orang
alim yang belum mencapai derajat mujtahid bertaqlid kepada mujtahid. Hal inipun
menimbulkan perbedaan pendapat.
1.
Sebagian ulama berpendapat tidak boleh bertaqlid kare di anggap
mampu menggali hokum dari dalilnya. Pendapat ini sangga bahwa mereka walau pun
mempunyai kemampuan menggali hokum syariat tapi kemampuannya secara umum.
Kemampuan yang sempurna jelas tidak ada di dalam orang alim.
2.
Sebagian ulama dari kalangan mu’tazilah berpendapat boleh saja
orang alim bertaqliddengan syarat jelas landasan ijtihad mujtahid yang di
taqlidinya.
Keenam masalah terahir adalah apakah orang awam memungkinkan (di
bolehkan) bertaqlid. Menurut imam nawawin dan Al baedhowi serta pengikut-pengikutnya,
orang-orang awam dan orang yang tidak biasa berijtihad boleh bertaqlid bahkan
pada goolongan ini wajib bertaqlid dengan alasan yang salahsatunya sudah di
sebutkan di atas dan dengan alasan membebani orang awam berijtihad akan merepotkan
mereka, rusaknya keadaan dan luputnya kehidupan mereka. Ulama dari kalangan
mu’tazilah Baghdad mengatakan orang awam tidak boleh bertaqlid. Tetapi ia wajim
mencapai hokum melalui ijtihadnya untuk
di amalkan. Al juba’I berpendapat orang awam boleh taqlid pada mujtahid dalam
masalah yang semata-mata ijtihadiyah seperti menghilangkan najisdengan cuka.
C.3 Syarat- Syarat Istifta Dan Kewajiban Mustafti
Termasuk syarat
istifta adalah mustafti harus kuat sangkaannya bahwa mufti yang di ikutinya
adalah ahli ijtihad dengan pengetahuannya sendiri melalui fatwa fatwanya dan
masyarakat mengambil fatwah fatwahnyaahli agama dengan pengetahuannya
kesepakatan masyarakat.Imam al Hudhori biek juga menyampaikan dalam kitabnya
ushul fiqh bahwa para ulama sepakat
orang awwam ( mustafti) tidak boleh meminta fatwah kecuali kepada orang yang di
kenalnya karena kemashuran ilmu dan keadilanya. Jika fatwah seorang ulama tidak
di ketahui kealimannya maka sebaiknya tidak didiamkan sampai mengetahui sifat
keadilannya. Karena dia belum di ketahui ( bebas dari) kedustaan dan keoalsuan.
Semua orang
adalah awam kecuali beberapa orang. Bahkan semua ulama memiliki sifat ‘adil
kecuali beberapa saja. Inilah pendapat yan di pilih oleh oleh ibnu hammam.
Apabila ingin mengetahui kondisi seorang mufti maka cukuplah dengan mengetahui
apa yang tersiar oleh kalangan umat.
Adapun
kewajiban seorang mustafti adalah ketika seorang mufti betfatwa dan di sepakati
oleh oleh ahlul ijtihad maka seorang mufti harus mengamalkannya dan
melakukannya. Tapi apabila terjadi ikhtilaf maka wajib baginya ijtihad dalam
masalah siapa yang lebih ,alimnya.karena hal itu mendai cara kuatnya sangkaan
mustafti. Dan hal itu masih memungkinkannya. Kewajiban seorang mustafti juga
bertanya kepada mufti atas masalah yang tidak di ketahuinya.
Adapun
ketentuan-ketentuan seorang mustafti apabila para dua mufti berikhtilaf maka
kita boleh tidak memilih keduanya dan kita memilih keumumannya. Apabila
mujtahid banyak di suatu negara atau daerahnya maka boleh mengikuti mujtahin
yang iya inginkan. Para pengikut-pengikut imam syafii sepakat bahwa mustafti
mengikuti faadhiluhum wa mafdhuluhum
D.1. Pengertian ifta’
Secara arti kata Ifta’ berarti “memberi penjelasan”. Ulama memberi definisi kepada ifta’ itu dengan
“usaha memberikan penjelasan hukum oleh ahlinya kepada orang
yang belum mengetahuinya”. Dari sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ifta’ ialah
kegiatan menerangkan hukum syara’ sebagai jawaban atas dasar pertanyaan yang
diajukan.
Kata fatwa
(kemudian disebut dalam istilah bahasa indonesia) sepadan dengan kata ifta’
yang berakar dari kata afta, berarti memberikan penjelasan suatu masalah.
Sedangkan dalam
termenologi, Ulama Hanafi mendefinisikan ifta’ adalah menjelaskan hukum
terhadap suatu permasalahan (bayan al-hukm al-mas’alah) . Dalam
pandangan ulama maliki, ifta’ adalah menginformasikan tentang suatu hukum
syariat dengan cara yang tidak mengikat (al-ikhbar bi al-hukm al-syar’i ‘ala
ghayr wajh al-ilzam).
Al-Qaradawi mendefinisikan ifta’ sebagai mennjelaskan hukum
syariat tentang satu persoalan sebagai jawaban terhadapa pertanyaan seorang
penanya, baik yang jelas maupun samar, individu maupun kolektif (bayan
al-hukm al-syar’i fi qadiyyah min al-qadaya jawaban ‘an su’al sa’il mu’ayyan
kan aw mubham, fard aw jama’ah)
Melihat pengertian diatas ,maka dapat dirusmuskan hakikat dari ifta’
itusendiri, antara lain:
a. Bahwa ia adalah usaha memberikan penjelasan
b. Yang
dijelaskan itu adalah tentang hokum syara’ yang
diperoleh melalui proses ijtihad.
c. Penjelasan itu diberikan oleh orang
yang mempunyai ilmu tentang hukum syara’ atau mujtahid.
d. Penjelasan itu diberikan kepada orang
yang belum tahu, baik setelah ditanya maupun tidak.
Pakar usul fiqh
yang membandingkan ifta’ dengan ijtihad. Ia menyimpulkan bahwa ifta’ itu lebih
khusus dari pada ijtihad. Kekhususan itu adalah ifta’ dilakukan setelah orang
bertanya, sedangkan ijtihad dilakukan tanpa menunggu adanya pertanyaan dari
pihak manapun.
Namun ada pula
yang mengatakan bahwa ijtihad adalah
usaha menggalli hukum dari sumber dan dalilnya, sedangkan ifta’ adalah usaha
menyampaikan hasil penggalian melalui ijtihad tersebut kepada orang yang
bertanya. Ifta’ adalah salah satu cara menyampaikan hasil ijtihad kepada orang
lain melalui ucapan atau perbuatan seperti ketukan palu seorang hakim di
pengadilan.
D.2 Unsur-Unsur ifta’
Dari definisi dan hakikat ifta’
tersebut, dapat ditemukan empat unsur dari ifta’ :
1. Usaha
memeberikan penjelasan hukum , yang
disebut ifta itu sendiri.
2. Orang yang
memberi penjelasan yang disebut mufti.
3. Orang yang
meminta penjelasan yang disebut mustafti.
4. Penjelasan hukum yang
diberikan yang disebut fatwa.
D.3. Ketentuan dalam berfatwa
Bila yang berfatwa adalah seorang yang mencapai tingkat mujtahid mutlak, ia harus berfatwa dengan hasil ijtihadnya sendiri.
Bila ia berfatwa berlawanan dengan hasil ijtihadnya, maka fatwanya itu batal karena hasil fatwa
itu adalah sesuatu yang
diyakininya kebenarannya. Bila ia berfatwa dengan hasil ijtihad
orang lain, maka berarti meyakini hasil ijtihad
orang lain sambil membatalkan ijtihadnya sendiri.
Bila yang berfatwa adalah seorang alim yang terikat dalam mazhab tertentu. Maka ia harus berfatwa dengan hasil ijtihad imam
mujtahid yang selalu diikutinya. Bila ia berfatwa tidak mengikuti
hasil ijtihad imamnya, maka fatwa itu
batal, karena hal itu berarti tidak
meyakini pendapat imam mujtahid yang diikutinya itu.
Bila ia seorang alim yang tidak
terikat dengan mazhab tertentu, maka ia
boleh berfatwa dengan hasil ijtihad salah seorang mujtahid yang muktabar. Untuk hal ini ia harus memerhatikan hal-hal
sebagai berikut :
a. Ia harus memilih pendapat yang diyakininya benar dan kuat dalilnya.
b. Ia harus memilih pendapat
yang menghendaki kehati-hatian dalam beramal.
c. Ia ikhlas dalm memilih pendapat
yang akan difatwakannya dan bertekad untuk mencapai kemaslahatan umum.
Berfatwa merupaksn salah satu implementasi ‘Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, sebab ia menyampaikan pesan-pesan agama
yang harus dikerjakan atau dijauhi oleh umat. Karena itu, hukum berfatwa menurut asalnya adalah fardku
kifayah. Apabila dalam satu daerah hanya ada satu mufti yang dapat ditanyai tentang suatu masalah hukum
yang sudah terjadi dan akan luput seandainya ia tidak segera berfatwa, maka hukum berfatwa adalah Fardlu ‘Ain. (Syarifuddin, jilid II. 2001: 434).
Ibnu Qoyyim
mengatkan, bahwa hal terpenting bagi seorang mufti dalam berfatwa adalah bagaimana agar fatwanya
itu dapat menyejukan jiwa masyarakat dan tidak menimbulkan keraguan dalam
pengamalan agama. Hal ini dibutuhkan seorang mufti yang sangat mempuni dibidang
keagamaan, sehingga dalam mengambil tindakan atau berfatwa tidak ada
kesalahan, baik pada saat itu maupun
pada masa setelahnya.
Dalam berfatwa
tidak hanya bagaimana seorang mufti memberikan fatwanya, akan tetapi banyak hal
lain yang harus diperhatikan, seperti bagaimana dia menjaga sikap dan beradab
pada suatu masyarakat tertentu, sehingga fatwanya dapat diterima dengan lapang
dada oleh masyarakat tersebut. Namun jauh dari itu ada yang lebih penting dari
segalanya, yakni, ketika seorang mufti berfatwa , maka harus kuat niatnya,
karena diharapkan bagi seorang mufti dalam memberikan fatwanya hanya
semata-mata karena Allah SWT.
Imam Nawawi
dalam kitabnya al-Majmu’ mengatakan “kalian harus mengerti bahwa
fatwa/berfatwa itu adalah suatu parkara yang sangat berat dan besar bahayanya,
tetapi ia mempunyai faedah yang besar pula karena orang yang berfatwa itu bukan
sembarang orang melaikan adalah pewaris para nabi yang secara fardlu kifayah
harus melaksanakan urusan itu”.
Hal ini sangat
jelas, bahwa pekerjaan seorang mufti dalam memberi fatwa sangatlah mulia dan
menyandang gelar sebagai pewaris nabi.
Bahkan Rasul pun menganjurkan berfatwa melaui sebuah Hadist beliau, yang
berbunyi “hendaklah engkau menyampaikan kepada mereka dariku sekalipun hanya
satu ayat” (HR. Ahmad dan Tirmizi).
BAB
III
PENUTUP
Setelah
menguraikan pengertian fatwa, mufti,mustafti dan ifta’, serta syarat dan
pembagiannya masing-masing, bisa disimpulkan bahwa peranan fatwa sangat pokok
dan strategis serta memiliki peranan luhur sebagai langkah solusi bagi orang
awam yang sangat membutuhkan kejelasan suatu hukum mengacu pada dirinya yang
tidak punya otoritas dalam menggali hukum sendiri terutama di dalam memecahkan
dan menjawab seluruh persoalan sosial-keagamaan dan kebangsaan yang timbul di
tengah-tengah masyarakat. Jawaban yang diberikan oleh mufti adalah fatwa yang
dikeluarkan melalui penetapan fatwa minimal didasarkan sumber hukum Islam yaitu
Al-Qur’an, Sunnah (Hadis), Ijma` dan Qiyas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul Fatah
Idris, IstimbathHukumIbnulQoyyim, PustakaRizki Putra, Semarang 2007.
2. Syarifuddin, Amir, Garis-garisbersarusulfiqh.Kencanaprenada media
group, Jakarta: 2012
3. Dr. Yusuf Qardawi, FiqhPrioritas (MansyuratKuliahDa’wah
Islamiyah,1990)
4. Mohamad Hasn, dan Rahmani, Ijma’, (bandung:
pustaka,1985)
5. Muhammad Abu Zahrah, dan SaefullahMa’shum, slamet basyir
(peterjemah), Usulfikih, (Jakarta:pustakafirdaus, 2009)
6. Muhyiddin Abi Zakariya Yahya Bin Syaraf An-Nawawi, Adab Al
Fatwa Wa Al Mufti Wa Al Mustafti,(Damaskus:Darul Fikr,1990)
7.Muhammad Bin Shalih Bin Muhammad Al-Utsaimin, Al Ushul Min
Ilmil Ushul, (Riyadlh:Dar Ibni Jauzy,2005)
8. Fuad Thohari, Pedoman Penetapan Fatwa Bagi Da’i,
(Jakarta:Majlis Ulama Indonesia DKI Jakarta,2012)
9. Muhammad Al Khidlori Bek, Ushul Fiqh, (Jakarta:Pustaka
Amani,2007)
10. Ibnu Husain Muhammad Bin Ali Bin Thoyyib,Mu’tamad Fi Ushulil
Fiqh,(Lebanon:Darul Kutub,2005)
[1] Muhammad Bin Shalih Bin Muhammad Al Utsaimin, Al Ushul Min Ilmil
Ushul, (Beirut : Darul Fikr, 1426 H/2005 M)
[2] Sedangkan menurut Ibnu Hazm dalam kitab Al Ihkam Li Ibni Hazm dari
Mazhab Hanafi Mufti adalah Orang yang memberikan informasi perihal Allah dengan
hukum-hukum Nya. Adapun sebagian Ulama Syafi’iyyah mendefinisikan dengan المفتى هو: (المخبر بحكم شرعي عملي مكتسب من
أدلته التفصيلية لمن سأل عنه في أمر نازل) (1).ialah
orang yang memberikan informasi tentang hukum syara’ yang dihasilkan dari
dalil-dalil terperinci bagi orang yang bertanya tentang itu.
[3] Para Ulama sepakat bahwa orang fasiq tidak sah fatwanya,
sesuai apa yang disampaikan oleh al-khatib, hal ini merupakan Ijma’
umat muslimin. Adapun bagi orang yang sifat adilnya diketahui lahirnya saja,
namun batinnya belum diketahui, maka disini ada dua pendapat : 1. Sah
fatwanya (al-ashah) karena sifat al-‘adalah al-bathinah
sulit diketahui. 2. Tidak sah fatwanya, hal ini disamakan pada permasalahan
persaksian (al-syahadah)

0 Response to "Penjelasan antara Fatwa, Mufti, Mustafti, dan Ifta`"
Post a Comment