KODE Dfp 1 MAKALAH HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DAN KHI | GUDANG ILMU

MAKALAH HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DAN KHI

KODE 200x200
KODE 336x320 atau in artikel

PEMBAHASAN

A.    HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DAN KHI

1.      Pengertian Hak dan Kewajiban
Perkawinan  sebagai perbuatan hukum antara suami dan istri untuk merealisasikan ibadah kepada Allah yag menimbulkan akibat hukum keperdataan diantara keduanya Apabila akad nikah telah berlangsung dan sah memenuhi syarat dan rukunnya, maka akan menimbulkan akibat hukum.
Dengan demikian, akan menimbulkan pula hak dan kewajibannya selaku suami istri dalam keluarga. Adapun pengertian hak adalah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang untuk mendapatkan atau berbuat sesuatu.
Hak disini adalah apa-apa yang diterima oleh seorang dari orang lain setelah melakukan kewajibannya. Dan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan seorang terhadap orang lain. Kewajiban ini timbul karena hak yang melekat pada subyek hukum.
Jadi dalam hubungan suami istri di sebuah rumah tangga, suami mempunyai hak dan begitu pula istri mempunyai hak. Sebaliknya suami mempunyai beberapa kewajiban dan begitu pula sikap istri juga mempunyai kewajiban.
Apabila hak dan kewajiban masing-masing suami dan istri terpenuhi, maka dambaan suami dan istri dalam bahtera rumah tangganya akan dapat terwujud, dengan didasari rasa cinta dan kasih sayang. Ditegaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ [4]:19:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’ [4]:19)

Ayat tersebut memberikan petunjuk yang bersifat umum dalam pergaulan antara suami dan istri, agar diantara mereka dapat bergaul secara ma’ruf (baik). Bahwa kaum laki-laki diperintahkan untuk bergaul dengan istrinya dengan cara yang paling baik. Kemudian hal lain yang perlu diperhatikan adalah para wanita memiliki hak yang seimbang dengan hak dan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.
2.      Hak dan Kewajiban Suami Istri Menurut UU Perkawinan dan KHI

Diferensiasi peran dalam rumah tangga berhubungan erat dengan hak dan kewajiban suami maupun isteri dalam keluarga. Hak-hak yang dimiliki oleh suami maupun isteri adalah seimbang dengan kewajiban yang dibebankan kepada mereka. Dasar dari hak dan kewajiban masing-masing suami maupun isteri. Oleh karena itulah, disini akan dikemukakan hak-hak masing-masing suami maupun isteri, tanpa harus mengemukakan kewajiban masing-masing, karena hak yang diterima satu pihak adalah merupakan kewajiban bagi pihak yang lain.
Ø  Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Kewajiban yang dibebankan oleh Undang-undang ini terhadap suami adalah kewajiban memberikan nafkah. Mengenai Hak dan Kewajiban Suami-Istri yang terdiri dari 5 pasal yaitu:
Pasal 30
Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.

Pasal 31
1)      Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2)      Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3)      Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32
1)      Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2)      Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama.
Pasal 33
Suami isteri wajib saling saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
1)      Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2)      Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
3)      Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

Ø  Hak dan Kewajiban Suami Istri Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), hak dan kewajiban suami-istri antara lain sebagai berikut :
BAB XII
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI 
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 77
1)      Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat.
2)      Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satui kepada yang lain.
3)      Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
4)      Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.
5)      Jika suami atau isteri melalaikankewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Berdasarkan firman Allah dalam surat Ar-Rum [20]:21: 
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir".
Pasal 78
1)   Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2)   Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentulan oleh suami isteri bersama.
Bagian Kedua
Kedudukan Suami Isteri

Pasal 79
1)   Suami adalah kepala keluargadan isteri ibu rumah tangga.
2)   Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
3)   Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nisa’ [4]:32:

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".
Bagian Ketiga
Kewajiban Suami

Pasal 80
1)   Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama.
2)   Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
3)   Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
4)   Sesuai dengan penghasislannya suami menanggung :
·      Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri.
·      Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak.
·      Biaya pendididkan bagi anak.
6)      Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
7)      Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
8)      Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.

Berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nisa’ [4]:34:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika  mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar".

Bagian Keempat
Tempat Kediaman

Pasal 81
1)   Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.
2)   Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untukisteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
3)   Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
4)   Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.

Berdasarkan firman Allah dalam surat At-Talaq [65]:6:
َسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ ۚ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ ۖ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَىٰ

Artinya: "Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya".

Bagian Kelima
Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dan Seorang

Pasal 82
1)   Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tiggaldan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
2)   Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.
Bagian Keenam
Kewajiban Isteri

Pasal 83
1)   Kewajibn utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum islam.
2)   Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaikbaiknya.
Pasal 84
1)   Isteri dapat dianggap nusyuz jika iatidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah
2)   Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
3)   Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesuadah isteri nusyuz
4)   Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.

Pengaturan ketentuan hak dan kewajiban suami istri dalam kompilasi lebih sistematis dibanding dalam undang-undang perkawinan. Hal ini tentu dapat dimaklumi, karena kompilasi dirumuskan belakangan,setelah 17 tahun sejak undang-undang perkawinan dikeluarkan. Dalam undang-undang perkawinan pengaturan hak dan kewajiban suami istri masih bersifat umum. Sedangkan dalam kompilasi tersusun lebih rinci dan kompleks.


B.     HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN

1.      Harta Bersama
            Undang-undang  No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur harta kekayaan dalam perkawinan pada Bab sebelumnya judul harta benda dalam perkawinan.
Pasal 35
1)      Harta benda yang diperoleh selama peerkawinan menjadi harta bersama.
2)      Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Jadi, Pengertian harta bersama adalah harta kekayaan yan diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan. Maksudnya, harta yang didapat atas usaha mereka, atau sendri-sendiri selama masa ikatan perkawinan. Dalam istilah fikih muamalat, dapat dikategorikan sebagai syirkah atau join antara suami dan istri. Seacara Konvensional beban ekonomi keluarga adalah hasil pencaharian suami.
Sedangkan istri sebagia rumah tangga bertindak sebagai manajer yang mengatur manajemen ekonomi rumah tangganya. Dalam pengertian yang lebih luas sejalan dengan tuntutan perkembangan, istri juga dapat melakukan pekerjaan yang dapat mendatangkan kekayaan. Jika yang pertama, digolongkan ke dalam syirkah al abdan, modal dari suami, istri andil jasa dan tenaganya. Yang kedua, dimana masing-masing mendatangkan modal, dikelola bersama disebut dengan syirkah ‘inan.
Dalam kenyataannya, masih lebih banyak pola yang pertama dalam kehidupan perkawinan. Yaitu suami yang nyatanya melakukan pekerjaan dan istri sebagia ibu rumah tangga. Oleh karena itu hendaknya, bekerja  tidak selalu diartikan bekerja di luar rumah.
Demikianlah yang dimaksud Pasal 35 ayat (1) . Adapun ayat (2) menjelaskan bahwa kekayaan yang diperoleh dengan cara warisan atau hadiah, tidak dapat dikategorikan sebagai kekayaan bersama. Ini sejalan dengan Firman Allah swt.
 وَلَا تَتَمَنَّوۡاْ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعۡضَكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبُواْۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبۡنَۚ وَسۡ‍َٔلُواْ ٱللَّهَ مِن فَضۡلِهِۦٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٗا
Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Q.s An-Nisa (4): 32)
Isyarat dan penegasan ayat tersebut dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik maisng-masing suami atau istri.
Pasal 86
1)      Pada dasarnya tidak ada pencampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan.
2)      Harta istri tetap menjadi hak istridan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
Pasal 87
1)      Harta Bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adala dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
2)       Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa Hibah, hadiah, shadaqoh atau lainnya.
Pasal 88
Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang Harta Bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama
Pasal 89
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri.
Pasal 90
Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya.
     
Apabila kekayaan bersama tersebut digunakan salah satu pihak, tidak atas persetujuan pihak lainnya, maka tindakan hukum demikian tidak diperbolehkan. Tanpa adanya persetujuan tersebut, kemungkinan terjadinya penyimpangan ebsar sekali, oleh karena itu KHI menyebutkan dalam pasal 93 antara lain:
Pasal 93
1)      Pertanggung jawaban terhadap utang suami dan istri dibebankan pada hartanya masing-masing
2)      Pertanggung jawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama
3)      Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada suami
4)      Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta istri.
Pasal 94
1)      Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang,masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
2)      Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang  suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat  berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.

Pasal 95
1)      Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.
2)      Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.


Pasal 96
1)      Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama,.
2)      Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97
Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperduadari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan

2.      Pertanggungjawaban Terhadap Utang Suami
Pada dasarnya tanggung jawab nafkah istri dan keluarga berada di pundak suami (Q.S Al-TALAQ 65:7) Menurut  kemampuannya, baik dalam  keadaan longgar maupun dalam keadaan sempit, firman Allah swt:
لِيُنفِقۡ ذُو سَعَةٖ مِّن سَعَتِهِۦۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيۡهِ رِزۡقُهُۥ فَلۡيُنفِقۡ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَاۚ سَيَجۡعَلُ ٱللَّهُ بَعۡدَ عُسۡرٖ يُسۡرٗا
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”
Pertanyaan yang patut dikemukakan adalah bagaimana seandainya terjadi suami benar-benar tidak mampu memberi nafkah? Undang-undang perkawinan maupun kompilais hukum islam tidak membicarakan masalah ini. Kompilasi menyinggung utang suami secara umum, tidak mengaitkan dengan soal ketidakmampuan suami memberi nafkah kepada istrinya. Masalah ini akan dibicarakan kemudian.
Al-Shan’ani menjelaskan perbedaan pendapat ulama apakah terjadi fasakh nikah manakala suami mengalami kesulitan untuk memberi nafkah istrinya.
1.      Perkawinan fasakh. Demikian pendapat ‘Ali, Umar, Abu Hurairah dan sebagian besar Tabi’in. Dari kalangan fuqoha yang mendukung pendapat ini Malik, Syafi’i, Ahmad serta Ahl Dhahir. 
Alasan lain yang dikemukakan, bahwa nafkah adalah pertimbangan kesenangan hubungan suami istri. Ini didasarkan bahwa bagi istri yang nuyuz tidak berhak menerima nafkah menurut mayoritas ulama. Jika tidak ada nafkah, gugurlah hak berhubungan . Pendapat ini agaknya lebih menonjolkan hunungan seksual sebagai imbalan nafkah yang boleh jadi dalam batas-batas tertentu tidak atau kurang serasi dengan nilai dasar perkawinan.
2.      Perkawinan tidak fasakh karena kesulitan suami memberi nafkah ini pendapat al-Hadawiyah dan madzhab hanafiyah dan asy-syafi’i dalam satu riwayat
3.      Suami yang berada dalam kesulitan, ditahan sebagai pemberian kesempatan untuk mengatasi situasi kritisnya. Ini pendapat al-Anbari, Pendapat ini perlu dipahami sebagia perintah kepada si istri untuk bersabar dan mawas diri.
4.      Hampir sama dengan pendapat ketiga, jika suami mengalami kesulitan dalam memberi nafkah, dapat ditanyakan kepada si istri perihal kesulitan suaminya itu. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad ibn Dawud ini menekan status quo degan kata lain, memberi kesempatan kepada suami untuk membenah diri terhadap kewajiban yang menjadi tanggung jawbanya itu.
5.      Apabila si istri mampu dan suaminya kesulitan, maka nafkah dibebankan kepada si istri dan tidak menuntut pembayaran kembali apabila suaminya mampu
6.      Jika seorang perempuan ketika menikah mengetahui bahwa suaminya dalam kesulitan atau semula dalam keadaan mampu kemudian karena sesuatu hal bangkrut, maka si istri tidak boleh menuntut fasakh.
Namun apabila sebelumnya ia tidak mengetahui, ia boleh mengajukan fasakh. Ini pendapat Ibn Al-Qayyim, alasannya, pengetahuan terhadap keadaan calon suaminya, ibarat ia telah rela terhadap kesulitan calon suaminya itu,
Jika persoalan semacam ini mecuat ke permukaan dan diajukan ke PA. Maka hakim perlu mempertimbangkan berbagai segi untuk kepentingan apa suami berutang dan bagaimana juga kewajiban nafkah istri dan keluarganya terpenuhi.
Pasal 93
1.      Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
2.      Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
3.      Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
4.      Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri

Pasal ini menginsyaratkan perlunya di identifikasi sifat utang itu sendiri. Apakah utang suami itu merupakan beban dari ketidaksiapan suami memenuhi kewajiban nafkahnya atau utang yang murni kebutuhan pribadiny, ataukah utang yang diakukan untuk kepentingan keluarga.
Apabila utang itu murni pribadinya sendiri, maka pertanggung jawabannya ada pada suami, demikian juga jika istri melakukan tindakan utang yang sama. Namun apabila utang tersebut untuk kepentingan keluarga, pertanggungjawabannnya dibebankan kepada harta bersama, jadi KHI lebih menekankan kepada pentingnya kebersamaan dalam kehidupan berumah tangga.


Kode 300 x 250

0 Response to "MAKALAH HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DAN KHI"

Post a Comment

close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==
Kode DFP2
Kode DFP2