BAB I
A.
Pendahuluan
Pemberlakuan
hukum Islam di Indonesia agak tersendat dengan berkuasanya
pemerintahan
kolonial Belanda di Indonesia. Pemerintah Belanda berusaha menekan
umat Islam
dengan menghambat pemberlakuan hukum Islam secara resmi dengan
dibuatnya
aturan-aturan yang sangat merugikan umat Islam.
Sejak
pemerintah Belanda hengkang dari bumi nusantara, keberadaan hukum Islam mulai
dianggap signifikan dan mendapat perhatian yang baik di dalam penyusunan
peraturan perundang-undangan nasional. Usaha mengembalikan dan menempatkan
hukum Islam dalam kedudukannya seperti semula terus dilakukan oleh para
pemimpin Islam dalam berbagai kesempatan. Perjuangan mereka dimulai sejak
peletakan hukum dasar bagi negara kita, yaitu ketika mereka dalam wadah Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Setelah bertukar pikiran melalui musyawarah,
para pemimpin Indonesia yang menjadi perancang dan perumus UUD Republik
Indonesia yang kemudian dikenal dengan UUD 1945 mencapai persetujuan yang
dituangkan ke dalam satu piagam yang kemudian dikenal dengan nama Piagam
Jakarta (22 Juni 1945). Dalam Piagam Jakarta, yang kemudian diterima menjadi
Pembukaan UUD 1945, dinyatakan antara lain bahwa negara berdasar kepada
ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Tujuh kata terakhir ini kemudian oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) dihilangkan dan diganti dengan kata Yang Mahaesa.[1]
Meskipun
usaha menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukum dasar nasional tidak berhasil
pada waktu itu, akan tetapi pada perkembangan selanjutnya berbagai upaya
dilakukan oleh para pemimpin dan pemikir Islam untuk menjadikan hukum Islam
sebagai salah satu sumber hukum dalam pembangunan hukum nasional. Dalam hal ini
hukum Islam banyak memberi kontribusi yang berarti bagi pembangunan hukum
nasional. Beberapa contoh mengenai hal ini bisa disebutkan
seperti
dalam pembuatan UU Perkawinan (UU No. 1 tahun 1974, UU Pokok Kekuasaan
Kehakiman (UU No. 14 tahun 1970) yang dilanjutkan dengan pemberlakuan UU
Peradilan Agama (UU No. 7 tahun 1989), UU Pokok Agraria (UU No. 5 tahun 1960),
UU Pokok Kejaksaan (UU No. 15 tahun 1961), dan UU Pokok Kepolisian (UU No. 13
tahun 1961).
Pada
tahun 1991 pemerintah Indonesia memberlakukan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991. KHI ini terdiri dari tiga
buku yang semuanya merupakan bagian dari hukum perdata Islam, yakni buku I
tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan, dan buku III tentang
Hukum Perwakafan. KHI ini merupakan pegangan para hakim agama dalam memeriksa
dan mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenangnya di Pengadilan Agama. KHI
ini hanya berlaku bagi umat Islam yang berperkara dalam hal perkawinan,
kewarisan, dan perwakafan.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa KHI yang merupakan kumpulan aturan-aturan mengenai
hukum Islam di Indonesia belum menjangkau semua bidang yang ada dalam bagian
hukum Islam. Salah satu bidang yang sama sekali tidak disinggung dalam hal ini
adalah hukum pidana Islam. Oleh karena itu, jika umat Islam berperkara dalam
hal pidana atau kriminal, tidak bisa ditemukan aturannya dalam KHI tersebut,
bahkan Pengadilan Agama – tempat diterapkannya KHI – tidak mempunyai wewenang
mengadili masalah-masalah yang menyangkut pidana yang dilakukan oleh umat
Islam.
B.
Pengertian Hukum Pidana Islam
Istilah
hukum Islam berasal dari tiga kata dasar, yaitu ‘hukum’, ‘pidana’, dan ‘Islam’.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘hukum’ diartikan dengan (1) peraturan
atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa,
pemerintah, atau otoritas; (2) undang-undang, peraturan, dsb. untuk mengatur
pergaulan hidup masyarakat; (3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa
(alam dsb.) yang tertentu; dan (4) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan
oleh hakim (dalam pengadilan); vonis.[2]
Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan atau
norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik
peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan
ditegakkan oleh penguasa. Dalam ujudnya, hukum ada yang tertulis dalam bentuk
undang-undang seperti hukum modern (hukum Barat) dan ada yang tidak tertulis
seperti hukum adat dan hukum Islam. Kata yang kedua, yaitu
‘pidana’, berarti kejahatan, (tentang pembunu han, perampokan, korupsi, dan
lain sebagainya); kriminal. Adapun kata yang ketiga, yaitu ‘Islam’, oleh Mahmud
Syaltut didefin isikan sebagai agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi
Muhammad Saw. untuk mengajarkan dasar-dasar dan syariatnya dan juga
mendakwahkannya kepada semua manusia serta mengajak mereka untuk memeluknya.[3]
Dengan pengertian yang sederhana, Islam berarti agama Allah yang dibawa oleh
Nabi Muhammad Saw. untuk disampaikan kepada umat manusia untuk mencapai
kesejahteraan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Dari
gabungan ketiga kata di atas muncul istilah hukum pidana Islam. Dengan memahami
arti dari ketiga kata itu, dapatlah dipahami bahwa hukum pidana Islam merupakan
seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah dan Nabi Muhammad
Saw. untuk mengatur kejahatan manusia di tengah-tengah masyarakatnya. Dengan
kalimat yang lebih singkat, hukum pidana Islam dapat diartikan sebagai hukum
tentang kejahatan yang bersumber dari ajaran Islam. Hukum Pidana Islam (HPI)
dalam khazanah literatur Islam biasa disebut al-ahkam al-jinaiyyah, yang
mengatur pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang mukallaf dan
hukuman-hukuman baginya.[4]
Para ulama menggunakan istilah jinayah bisa dalam dua arti, yakni arti luas dan
arti sempit. Dalam arti luas, jinayah merupkan perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh Syara’ dan dapat mengakibatkan hukuman had (hukuman yang ada
ketentuan nash-nya seperti hukuman bagi pencuri, pembunuh, dll), atau ta’zir (hukuman
yang tidak ada ketentuan nash-nya seperti pelanggaran lalu lintas, percobaan
melakukan tindak pidana, dll). Dalam arti sempit, jinayah merupakan
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
Syara’ dan dapat menimbulkan hukuman had, bukan ta’zir.[5]
Istilah lain yang identik dengan jinayah adalah jarimah.
C.
Konsep Pemberlakuan Hukum Pidana Islam
Tujuan
hukum Islam sejalan dengan tujuan hidup manusia serta potensi yang ada dalam
dirinya dan potensi yang datang dari luar dirinya, yakni kebahagiaan hidup baik
di dunia maupun di akhirat, atau dengan ungkapan yang singkat, untuk
kemaslahatan manusia. Tujuan ini dapat dicapai dengan cara mengambil segala hal
yang memiliki kemaslahatan dan menolak segala hal yang merusak dalam rangka
menuju keridoan Allah sesuai dengan prinsip tauhid. Menurut al-Syathibi, salah
satu pendukung Mazhab Maliki yang terkenal, kemaslahatan itu dapat terwujud
apabila terwujud juga lima unsur pokok. Kelima unsur pokok itu adalah agama,
jiwa, keturunan, akal, dan harta.[6]
Menurut
al-Syathibi, penetapan kelima pokok kebutuhan manusia di atas didasarkan pada
dalil-dalil al-Quran dan Hadis. Dalil-dalil tersebut berfungsi sebagai
al-qawaid al-kulliyyah (kaidah-kaidah umum) dalam menetapkan al-kulliyyah
al-khamsah (lima kebutuhan pokok). Ayat-ayat al-Quran yang dijadikan dasar pada
umumnya adalah ayat-ayat Makkiyah yang tidak dinasakh (dihapus hukumnya) dan
ayat-ayat Madaniyah yang mengukuhkan ayat-ayat Makkiyah. Di antara ayat-ayat
itu adalah yang berhubungan dengan kewajiban shalat, larangan membunuh jiwa,
larangan meminum minuman keras, larangan berzina, dan larangan memakan harta
orang lain dengan cara yang tidak benar. Dengan dasar ayat-ayat itulah, maka
al-Syathibi pada akhirnya berkesimpulan bahwa adanya lima kebutuhan pokok bagi
manusia tersebut menempati suatu yang qath’iy (niscaya) dalam arti dapat
dipertanggungjawabkan dan oleh karena itu dapat dijadikan sebagai dasar
menetapkan hukum.[7]
Dalam
usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok itu al-Syathibi mengemukakan
tiga peringkat maqashid al-syari’ah (tujuan syariat), yaitu pertama adalah
tujuan primer (maqashid al-daruriyyah), kedua adalah tujuan sekunder (maqashid
al-hajjiyyah), dan ketiga tujuan tertier (maqashid al-tahsiniyyah). Atas dasar
inilah maka hukum Islam dikembangkan, baik hukum pidana, perdata,
ketatanegaraan, politik hukum, maupun yang lainnya[8].
Diketahuinya tujuan-tujuan hukum Islam itu akan mempermudah ahli hukum dalam
mempraktekkan hukum. Apabila ilmu hukum tidak dapat menyelesaikan hukum suatu
peristiwa maka dengan memperhatikan tujuan-tujuan tersebut, setiap peristiwa
hukum akan dengan mudah diselesaikan.
Pengkategorian
yang dilakukan oleh al-Syathibi ke dalam tujuan primer, sekunder, dan tertier
seperti di atas menunjukkan begitu pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok
tersebut dalam kehidupan manusia. Di samping itu, pengkategorian ini mengacu
tidak hanya kepada pemeliharaan lima unsur, akan tetapi mengacu pula kepada
pengembangan dan dinamika pemahaman hukum yang diciptakan oleh Tuhan dalam
rangka mewujudkan kemaslahatan manusia.
Dengan
mengacu kepada lima kebutuhan pokok manusia dan tiga peringkat tujuan syariat
tersebut, dapatlah dipahami bahwa tujuan utama pemberlakuan hukum pidana Islam
adalah untuk kemaslahatan manusia. Abdul Wahhhab Khallaf memberikan perincian
yang sederhana mengenai pemberlakuan hukum pidana Islam yang dikaitkan dengan
pemeliharaan lima kebutuhan pokok manusia dalam bukunya ‘Ilmu Ushul al-Fiqh[9]
1.
Memelihara agama (hifzh al-din)
Agama
di sini maksudnya adalah sekumpulan akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang
yang dibuat oleh Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan juga
mengatur hubungan antar manusia. Untuk menjaga dan memelihara kebutuhan agama
ini dari ancaman musuh maka Allah mensyariatkan hukum berjihad untuk memerangi
orang yang menghalangi dakwah agama. Untuk menjaga agama ini Allah juga
mensyariatkan shalat dan melarang murtad dan syirik. Jika ketentuan ini
diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama tersebut, dan Allah menyuruh
memerangi orang yang murtad dan musyrik.
2.
Memelihara jiwa (hifzh al-nafs)
Untuk
memelihara jiwa ini Allah mewajibkan berusaha untuk mendapatkan kebutuhan
makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Tanpa kebutuhan tersebut maka
akan terancamlah jiwa manusia. Allah juga akan mengancam dengan hukuman qishash
(hukum bunuh) atau diyat (denda) bagi siapa saja yang menghilangkan jiwa.
Begitu juga Allah melarang menceburkan diri ke jurang kebinasaan (bunuh diri).
3.
Memelihara akal (hifzh al-‘aql )
Untuk
menjaga dan memelihara akal ini Allah mengharuskan manusia mengkonsumsi makanan
yang baik dan halal serta mempertinggi kualitas akal dengan menuntut ilmu.
Sebaliknya, Allah mengharamkan minuman keras yang memabukkan. Kalau larangan
ini diabaikan, maka akan terancam eksistensi akal. Di samping itu, ditetapkan
adanya ancaman (hukuman dera 40 kali) bagi orang yang meminum minuman keras.
4.
Memelihara
keturunan (hifzh al-nasl)
Untuk
memelihara keturunan Allah mensyariatkan pernikahan dan sebaliknya mengharamkan
perzinaan. Orang yang mengabaikan ketentuan ini, akan terancam eksistensi
keturunannya. Bahkan kalau larangan perzinaan ini dilanggar, maka Allah
mengancam dengan hukuman rajam atau hukuman cambuk seratus kali.
5.
Memelihara harta (hifzh al-mal)
Untuk
memelihara harta ini disyariatkanlah tata cara pemilikan harta, misalnya dengan
muamalah, perdagangan, dan kerja sama. Di samping itu, Allah mengharamkan
mencuri atau merampas hak milik orang lain dengan cara yang tidak benar. Jika
larangan mencuri diabaikan, maka pelakunya akan diancam dengan hukuman potong
tangan.
Dari
uraian di atas jelaslah bahwa kelima kebutuhan pokok tersebut merupakan hal
yang mutlak harus ada pada manusia. Karenanya Allah menyuruh untuk melakukan
segala upaya bagi keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya, Allah melarang
melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari
kelima kebutuhan pokok itu. Hukuman atau sanksi atas larangan itu bersifat
tegas dan mutlak. Hal ini ditetapkan tidak lain hanyalah untuk menjaga
eksistensi dari lima kebutuhan pokok manusia tadi. Atau dengan kata lain,
hukuman-hukuman itu disyariatkan semata-mata untuk kemaslahatan manusia. Dengan
ancaman hukuman yang berat itu orang akan takut melakukan perbuatan terlarang
yang diancam dengan hukuman tersebut. Dengan demikian, pemberlakuan hukum
pidana Islam itu juga untuk menciptakan kemaslahatan di antara umat manusia
seluruhnya.
D.
Prospek Hukum Pidana Islam di Indonesia dan
Tantangannya
Harapan
untuk mengembangkan syariat Islam di Indonesia sudah lama terniatkan, sejak
hukum pidana positif berkembang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Para
perumus bangsa (The Founding Fathers) kita sudah merencanakan untuk
diberlakukannya syariat Islam di Indonesia. Namun, dengan mendasarkan pada
pluralitas penduduk Indonesia, rencana itu tidak terwujud dan kemudian
menjadian Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Perkembangan
politik hukum di Indonesia sudah menjalani pertumbuhan dengan memperhatikan
pengaruh dari faktor nilai-nilai kemasyarakatan dan keagamaan. Maka sudah
waktunya para ulama dan kaum cendekiawan Muslim turut menegaskan kaidah agama,
agar para penganutnya tidak lagi melanggar ajaran agamanya dengan cara self
inforcement. Penegakan hukum (kaidah) agama secara preventif ini sangat
membantu pemantapan pola penegakan hukum (law enforcement) negara secara
preventive represive. Tujuannya adalah agar masyarakat memahami dan menaati
kaidah hukum negara dan kaidah agama sekaligus. Dengan demikian, syariah Islam
bukan hanya didakwahkan, tetapi juga dilaksanakan melalui penegakan hukum
preventif (bukan represif) guna mengisi kelemahan hukum pidana positif[10].
Hukum
pidana yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih merupakan warisan
dari pemerintahan Hindia Belanda. Sejak awal abad ke-19 Hindia Belanda
memberlakukan kodifikasi hukum pidana yang pada mulanya masih pluralistis,
yakni Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang Eropa dan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang Bumiputra serta yang dipersamakan
(inlanders). Mulai tahun 1918 di Indonesia diberlakukan satu Kitab
Undang-undang Hukum Pidana untuk seluruh golongan yang ada di Hindia Belanda
(unifikasi hukum pidana) hingga sekarang[11].
Sejak Indonesia merdeka kitab hukum pidana itu diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP dinyatakan
berlaku melalui dasar konstitusional pasal II dan IV Aturan Peralihan UUD 1945
dengan Undang-undang No. 1 tahun 1946. Dalam pasal III disebutkan bahwa
perkataan Nederlansch-Indie atau Nederlandsch-Indisch (e) (en) harus dibaca
dengan “Indonesie” atau “Indonesche”, yang selanjutnya men jadi Indonesia.
Dalam pasal VI
(1)dinyatakan
bahwa Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie diubah menjadi Wetboek van
Strafrecht. Kemudian dalam ayat (2) kitab hukum itu diterjemahkan menjadi Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Inilah yang menjadi dasar sehingga UU No. 1
tahun 1946 disebut dengan UU KUHP. UU ini berlaku secara resmi untuk seluruh
wilayah Indonesia dengan UU No. 73 tahun 1958[12].
Untuk
Hukum Pidana Islam (HPI), yang menurut asas legalitas dikategorikan sebagai
hukum tidak tertulis, masih dapat diakui di Indonesia secara konstitusional
sebagai hukum, dan masih terus berlaku menurut pasal II Aturan Peralihan UUD
1945. Namun demikian, ketentuan dasar itu belum ditindaklanjuti dengan
instrumen hukum untuk masuk ke dalam wujud instrumen asas legalitas. Seperti
halnya KUHP di atas, posisi HPI belum terdapat kepastian untuk menjawab
pertanyaan teoritis, mana hukum pidana yang dapat ditegakkan? . Ketiadaan HPI
secara tertulis di Indonesia menjadi penyebab belum dapat terpenuhinya HPI
secara legal sesuai dengan pertanyaan tersebut. Karena itulah HPI harus
benar-benar disiapkan secara tertulis sebagaimana hukum positif lainnya, bukan
langsung mendasarkannya pada sumber hukum Islam, yakni al-Quran, Sunnah, dan
ijtihad pada ulama (kitab-kitab fikih).
Hingga sekarang
ini sebenarnya muncul keinginan di hati sebagian umat Islam Indonesia keinginan
untuk diberlakukannya hukum Islam secara utuh di Indonesia, termasuk dalam
bidang hukum pidana. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa dengan
diberlakukannya hukum pidana Islam, maka tindak pidana yang semakin hari
semakin merebak di tengah-tengah masyarakat sedikit demi sedikit dapat
terkurangi. Sanksi yang tidak sepadan yang diberikan kepada para pelaku tindak
pidana selama ini tidak membuat jera mereka untuk mengulanginya. Karena itu,
sanksi yang tegas seperti yang ada dalam HPI nampaknya merupakan alternatif
terbaik yang dapat mengatasi permasalahan tindak pidana di Indonesia. Dalam
beberapa kasus terlihat antusiasme masyarakat kita untuk segera menerapkan
ketentuan pidana Islam, namun karena tidak diizinkan oleh aparat pemerintah
keinginan untuk melaksanakannya tidak terwujud. Namun demikian, bukan berarti
apa yang selama ini diterapkan oleh pengadilan di Indonesia seluruhnya
bertentangan dengan HPI. Ada beberapa putusan pengadilan kita yang terkadang
sama dan sesuai dengan ketentuan HPI, seperti hukuman mati dan langkah awal
pemberlakuan sanksi pidana cambuk seperti yang diberlakukan di Nanggro Aceh
Darussalam akhir-akhir ini.
Telah
bertahun-tahun di negara kita diupayakan pembuatan KUHP yang baru yang dapat
disebut KUHP Indonesia. Upaya ini mendapatkan hasil dengan disiapkannya RUU
KUHP yang baru. Dalam RUU ini juga termuat materi-materi yang bersumberkan pada
hukum pidana Islam, meskipun tidak secara keseluruhan. RUU ini juga sudah
beberapa kali dibahas dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam forum
sidang-sidang di DPR, namun hingga saat ini belum ada kata sepakat di kalangan
para pengak hukum kita tentang materi atau pasal-pasal yang menjadi isi dari
RUU tersebut.
Pengintegrasian
HPI ke dalam hukum pidana nasional, seperti yang terlihat pada beberapa pasal
dalam RUU KUHP, merupakan suatu pemikiran yang cukup bijak. Namun, jika secara
eksplisit hal ini tidak bisa dilakukan, minimal prinsip-prinsip utamanya dapat
terwujud dalam hukum pidana kita. Misalnya, tindak pidana perzinaan dan meminum
minuman keras tidak mesti harus dihukum dengan hukuman rajam atau hukuman
cambuk empat puluh kali kepada pelakunya. Yang paling prinsip adalah bagaimana
kedua contoh bentuk perbuatan itu dianggap sebagai tindak pidana yang tidak
sesuai dengan prinsip dan moralitas Islam. Hal ini, menurut Masykuri Abdullah
(Salim, 2001, 259)[13],
merupakan proses dari strategi legislasi hukum Islam yang bersifat gradual yang
sejalan dengan kaidah fikih: Ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh (sesuatu
yang tidak dapat dicapai seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan seluruhnya).
Langkah ini bukanlah yang paling ideal, tetapi cukup memberikan harapan untuk
dimulainya pemberlakuan HPI di Indonesia secara bertahap. Tawaran seperti ini
barangkali juga dapat memuaskan sementara pihak yang kerap kali menolak setiap
upaya pemberlakuan hukum Islam di Indonesia.
Pandangan
Masykuri seperti di atas belum tentu dapat diterima oleh semua kalangan umat
Islam di Indonesia. Ada sebagian dari mereka yang menginginkan diberlakukannya
HPI secara penuh sesuai dengan ketentuan yang pasti (qath’iy ) dari al-Quran
dan Sunnah Nabi. Pemberlakuan HPI dalam aspek fundamentalnya saja, seperti di
atas, bukan harapan mereka, namun juga harus menyertakan aspek instrumentalnya.
Karena itulah, yang mereka harapkan adalah dimasukkannya ketentuan-ketentuan
pokok HPI dalam hukum pidana nasional, jika tidak bisa diberlakukan HPI secara
khusus.
Perlu
ditambahkan bahwa pembaharuan sistem hukum pidana nasional melalui pembahasan
RUU KUHP sekarang ini harus diakui sebagai upaya untuk mengakomodasi aspirasi
sebagian besar umat beragama di Indonesia. Berbagai delik tentang agama ataupun
yang berkaitan dengan agama mulai dirumuskan dalam RUU tersebut, misalnya
tentang penghinaan agama, merintangi ibadah atau upacara keagamaan, perusakan
bangunan ibadah, penghinaan terhadap Tuhan, penodaan terhadap agama dan
kepercayaan, dan lain sebagainya. Rumusan semacam ini tidak mungkin didapati
dalam hukum pidana yang diberlakukan di negara-negara sekular, sebab urusan
agama bukan urusan negara dan menjadi hak individu masing-masing warga negara.
Selain beberapa pasal yang terkait dengan delik agama, dalam rancangan tersebut
juga dimasukkan pasal-pasal baru yang berkaitan dengan delik kesusilaan,
seperti berbagai bentuk persetubuhan di luar pernikahan yang sah atau yang
melanggar ketentuan agama. Tentu saja masih banyak pasal-pasal lain yang
terkait dengan materi HPI dalam RUU KUHP tersebut.
Langkah
seperti di atas merupakan upaya positif pemerintah untuk memberlakukan
ketentuan hukum sesuai aspirasi masyarakat, khususnya umat Islam. Namun, hingga
sekarang langkah ini belum terwujud. Pembahasan masalah ini sudah memakan waktu
yang cukup lama. Kita tunggu saja, kapan pemberlakuan hukum pidana nasional
kita seperti di atas dapat direalisasikan?
E.
Kesimpulan
Dari
paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa alotnya pembahasan materi RUU KUHP
nasional kita merupakan satu bukti bahwa tidak semua masyarakat kita sepakat
untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum pidana Islam, termasuk umat Islam
sendiri. Berbagai alas an dan argument mereka kemukakan untuk menghalangi
pemberlakuan HPI ini.Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa alas an atau argument yang dikemukakan pihak yang tidak
menyetujui pemberlakuan HPI di negara kita adalah karena tidak memahami secara benar akan esensi dan hakikat HPI. Penulis berkeyakinan,
jika mereka ini faham dan tahu betul akan hakikat HPI, pastilah RUU KUHP tidak perlu
menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membahasnya. Namun, jika kita sadar
bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang plural, maka kondisi seperti ini
harus menjadikan perhatian kita. Kita selalu berharap, semoga dalam waktu yang
tidak lama upaya umat Islam untuk memiliki HPI yang bersifat nasional dapat terwujud
di negara Pancasila yang
mayoritas penduduknya umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Gani. 2001. “Eksistensi
Hukum Pidan a Islam dalam Reformasi Sistem Hukum Nasional”. Dalam Jaenal
Aripin dan M. Arskal Salim GP (Ed.) Pidana Islam di Indonesia: Peluang,
Prospek, dan Tantangan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
A.Jazuli.
2000. Fiqh Jinayah
(Upaya Menanggulangi Kejahatan
dalam Islam).
Jakarta: Rajawali Pers. Cet. III.
A.Malik Fajar. 2001. “Potret Hukum Pidana
Islam; D eskripsi, Analisis Perbandingan dan Kritik Konstruktif”. Dalam
Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP (Ed.) Pidana Islam di Indonesia:
Peluang, Prospek, dan Tantangan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Bakri, Asafri Jaya. 1996. Konsep Maqashid
Syari’ah menurut Al-Syatibi.
Jakarta:
Rajawali Pers.
Bustanul
Arifin. 2001. “Hukum Pidana (Islam) dalam Lintasan Sejarah)”. Dalam
Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP (Ed.) Pidana Islam di Indonesia: Peluang,
Prospek, dan Tantangan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Djamil, Fathurrahman.
1997. Filsafat Hukum Islam (Bagian Pertama).
Jakarta: Logos.
Ichtijanto. 1991. “Pengembangan Teori
Berlakunya Hu kum Islam di Indonesia”. Dalam Tjun Surjaman (ed.). Hukum
Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Juhaya S.
Praja. 1991. “Filsafat Hukum Islam”. Dala m Tjun Surjaman (ed.). Hukum
Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Khallaf, ‘Abd
al-Wahhab. 1978. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Al-Qahirah: Dar al-‘Ilm li
al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi’.
Mohammad Daud Ali. 1989. “Kedudukan Hukum
Islam dal am Sistem Hukum Indonesia”. Dalam Taufik Abdullah dan sharon
Siddiq ue (ed.). Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Terj.
oleh Rochman Achwan. Jakarta: LP3ES.
Syaltout,
Mahmud. (1966). Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah. Kairo: Dar al-Qalam. Cet.
III.
Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.1997. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. IX.
Salim, M. Arskal. 2001. “Politik Hukum
Pidana Islam di Indonesia: Eksistensi Historis, Kontribusi Fungsional dan
Prospek Masa Depan”. Dalam Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP (Ed.)
Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek, dan Tantangan. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
[1] Mohammad Daud Ali. 1989. “Kedudukan Hukum Islam dal am Sistem Hukum
Indonesia”. Dalam Taufik Abdullah dan sharon Siddiq ue (ed.). Tradisi dan
Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Terj. oleh Rochman Achwan. Jakarta: LP3ES.
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. IX.
[3] Syaltout, Mahmud. (1966). Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah. Kairo: Dar
al-Qalam. Cet.
III.
[4] Khallaf, ‘Abd al-Wahhab. 1978. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Al-Qahirah: Dar
al-‘Ilm li al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi’.
[5] A. Jazuli. 2000.
Fiqh Jinayah (Upaya
Menanggulangi Kejahatan dalam
Islam).
Jakarta: Rajawali Pers. Cet. III.
[6] Bakri, Asafri Jaya. 1996. Konsep Maqashid Syari’ah menurut
Al-Syatibi. Jakarta:
Rajawali Pers.
[7] Djamil, Fathurrahman. 1997. Filsafat
Hukum Islam (Bagian Pertama).Jakarta:
Logos.
[8] Juhaya S. Praja. 1991. “Filsafat Hukum Islam”. Dala m Tjun Surjaman
(ed.). Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktik. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
[9] Khallaf, ‘Abd al-Wahhab. 1978. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Al-Qahirah: Dar
al-‘Ilm li al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi’.
[10] A.Malik Fajar. 2001. “Potret Hukum Pidana Islam; D eskripsi,
Analisis Perbandingan dan Kritik Konstruktif”. Dalam Jaenal Aripin dan M.
Arskal Salim GP (Ed.) Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek, dan
Tantangan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
[11] Bustanul Arifin. 2001. “Hukum Pidana (Islam) dalam Lintasan
Sejarah)”. Dalam Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP (Ed.) Pidana Islam di
Indonesia: Peluang, Prospek, dan Tantangan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
[12] Abdullah, Abdul Gani. 2001. “Eksistensi Hukum Pidan a Islam dalam
Reformasi Sistem Hukum Nasional”. Dalam Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP
(Ed.) Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek, dan Tantangan. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
[13] Salim, M. Arskal. 2001. “Politik Hukum Pidana Islam di Indonesia:
Eksistensi Historis, Kontribusi Fungsional dan Prospek Masa Depan”. Dalam
Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP (Ed.) Pidana Islam di Indonesia: Peluang,
Prospek, dan Tantangan. Jakarta: Pustaka Firdaus.


0 Response to "POLITIK ISLAM DI INDONESIA"
Post a Comment